LEMBATA|VIVATIMUR.COM – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan penelitian dan survei peta bahaya tsunami di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal itu disampaikan Admiral Musa Julius selaku Seismologis Earthquake and tsunami mitigation division BMKG pusat pada kegiatan Kordinasi persiapan survei tim advance preserving tsunami Lembata 1979, Jumat 8 Maret 2024.
Menurutnya bencana Waiteba pada tahun 1979 di kecamatan Atadei kabupaten Lembata NTT tergolong tsunami langka.
“Bencana Waiteba kabupaten Lembata tahun 1979 tergolong tsunami yang langka, sehingga kita di BMKG pusat perlu untuk mengidentifikasi mendapatkan data yang lebih komplit yang lebih komprehensif untuk membangun sistem layanan peringatan dini tsunami BMKG,” ungkapnya.
Dijelaskan, kejadian tsunami Waiteba 1979 sudah 45 tahun yang lalu, sehingga lanjutnya, bila ditelisik ke belakang dokumentasi tsunami Aceh 2004 itu masih minim.
“Sedangkan tsunami yang terjadi sebelum 2004 itu sangat banyak dan sangat banyak korban jiwa”, bebernya.
Disampaikan masyarakat baru mulai sadar bahwa negara kita rawan tsunami setelah tsunami Aceh 2004.
“Ini artinya informasi yang terjadi di tahun 1979 perlu dilestarikan secara turun temurun mengingatkan generasi muda yang lahir setelah tahun 1979 bahwa mereka tahu, mereka berdiri di atas kawasan beresiko yang berbahaya tsunami,” jelas Admiral Musa Julius.
Menurut Musa, survei bukan untuk menakut-menakuti tetapi untuk meningkatkan kewaspadaan.
“Sebab tsunami tidak dapat dihindari tetapi bencana dapat dikurangi resikonya dengan berlatih dan mendapatkan edukasi yang rutin,” tegas Musa.
Misa Julius berjanji akan kembali lagi ke Lembata untuk melakukan dokumentasi dalam bentuk video rekaman maupun wawancara.
“Kami akan datang lagi untuk melakukan dokumentasi dalam bentuk video rekaman maupun wawancara ataupun dengan survei literasi setelah lebaran untuk mengumpulkan data yang lebih lengkap karena pada hari ini dan 4 hari ke belakang kami hanya melakukan pengumpulan survei drone dan juga melakukan identifikasi desa-desa yang terdampak tsunami.
“Kita belum mendapatkan penuturan, karena penuturan itu baru kita rekam setelah lebaran. Lalu hasil penelitiannya kami akan membuat dalam bentuk buku karena tulisan ini dikemas populer supaya bisa dibaca tidak hanya akademisi tetapi oleh masyarakat. Kurang lebih prosesnya paling cepat 1 tahun sampai 2 tahun,” tutupnya.
Untuk diketahui Survei tersebut juga bekerjasama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lembata dan BMKG Kupang.